Welcome to Selian live Acoustic guys Selian live Acoustic: Juni 2017

Selasa, 13 Juni 2017

Ya'juj dan Ma'juj

Ya’juj dan Ma’juj / Yakjuj dan Makjuj / (Bahasa Arab: يأجوج و مأجوج‎) atau Gog dan Magog dalam tradisi Ibrani (Yahudi, גוג ומגוג) adalah sebutan yang muncul dalam kitab suci umat Islam, al-Quran serta kitab-kitab agama lain mengenai sekelompok manusia yang memiliki kekuatan sebagai perosak dan penghancur kehidupan di muka bumi.
Ya’juj dan Ma’juj dalam tradisi keagamaan digambarkan dalam istilah yang tidak jelas. Ada yang menyebutnya sebagai manusia, mahkluk berbentuk raksasa, suatu bangsa atau negeri. Ya’juj dan Ma’juj juga muncul dalam banyak mitos dan cerita rakyat di banyak negara. Walau bagaimanapun, Ya'juj dan Ma'juj seringkali disebut sebagai Gog dan Magog di Dunia Barat. Ya'juj dan Ma,juj sebenarnya adalah manusia, [perlu rujukan] perwatakan ganas, membuat kerosakan, menjahanankan tamadun yang mereka serang, mengambil makanan tuaian, membunuh, merogol, mereka bergerak dari kawasan utara Asia dan timur Eropah ke selatan dan dari tengah Asia ke barat Eropah.

Yakjuj dan Makjuj dalam agama Islam

Yakjuj dan Makjuj tinggal di antara dua gunung

Sehingga apabila ia sampai di antara dua gunung, ia dapati di sisinya satu kaum yang hampir-hampir mereka (Zulkarnain) tidak dapat memahami perkataan. (Surah Al-Kahfi : 93)[1]

Yakjuj dan Makjuj melakukan kerosakan di bumi

Mereka berkata: "Wahai Zulkarnain, sesungguhnya kaum Yakjuj dan Makjuj sentiasa melakukan kerosakan di bumi; oleh itu, setujukah kiranya kami menentukan sejumlah bayaran kepadamu (dari hasil pendapatan kami) dengan syarat engkau membina sebuah tembok di antara kami dengan mereka?" (Surah Al-Kahfi : 94)[2]

Zulkarnain telah menahan Yakjuj dan Makjuj

Dia menjawab: "(kekuasaan dan kekayaan) yang Tuhanku jadikan daku menguasainya, lebih baik (dari bayaran kamu); oleh itu bantulah daku dengan tenaga (kamu beramai-ramai) aku akan bina antara kamu dengan mereka sebuah tembok penutup yang kukuh. Bawalah kepadaku ketul-ketul besi"; sehingga apabila ia terkumpul separas tingginya menutup lapangan antara dua gunung itu, dia pun perintahkan mereka membakarnya dengan berkata: "Tiuplah dengan alat-alat kamu" sehingga apabila ia menjadikannya merah menyala seperti api, berkatalah dia: "Bawalah tembaga cair supaya aku tuangkan atasnya".
Maka mereka tidak dapat memanjat tembok itu, dan mereka juga tidak dapat menebuknya.(Surah Al-Kahfi : 95 - 97)[3]

Yakjuj dan Makjuj akan keluar kembali

(Setelah itu) berkatalah Zulkarnain: "Ini ialah suatu rahmat dari Tuhanku; dalam pada itu, apabila sampai janji Tuhanku, Dia akan menjadikan tembok itu hancur lebur, dan adalah janji Tuhanku itu benar". (Surah Al-Kahfi : 98)[4]

Dinding Zulkarnain menahan Yakjuj dan Makjuj telah terbuka

Dari Zainab binti Jahsy :
Bahawa Rasulullah bangun dari tidurnya sambil bersabda: Laa ilaaha illallah, celakalah orang-orang Arab kerana suatu bencana akan terjadi, iaitu hari ini dinding menahan Yakjuj dan Makjuj telah terbuka sebesar ini. Dan Sufyan (perawi hadis ini) melingkarkan jarinya membentuk angka sepuluh (membuat lingkaran dengan jari telunjuk dan ibu jari). Aku (Zainab binti Jahsy) bertanya: Wahai Rasulullah, apakah kita semua akan binasa padahal di antara kita banyak terdapat orang-orang saleh? Beliau menjawab: Ya, jika banyak terjadi kemaksiatan. (Hadis Riwayat Muslim)[5]

Yakjuj dan Makjuj turun dari tiap-tiap tempat yang tinggi

Dikhabarkan di dalam Al Quran bahawa Yakjuj dan Makjuj akan turun dari tiap-tiap tempat yang tinggi.
(Demikianlah keadaan mereka) hingga apabila terbuka tembok yang menyekat Yakjuj dan Makjuj, serta mereka meluru turun dari tiap-tiap tempat yang tinggi. Dan hampirlah datangnya janji hari kiamat yang benar, maka dengan serta-merta pandangan mata orang-orang yang kufur ingkar terbeliak (sambil berkata dengan cemas): "Aduhai celakanya Kami. Sesungguhnya kami telah tinggal dalam keadaan yang melalaikan kami daripada memikirkan perkara ini, bahkan kami telah menjadi orang-orang yang menganiaya diri sendiri". (Surah Al-Anbiyaa’ : 96 - 97)[6][7]

Sejarah Kutacane

Kutacane adalah ibukota Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh, Indonesia. Kutacane merupakan pintu masuk ke Taman Nasional Gunung Leuser dari wilayah Aceh, dapat dicapai lebih kurang 6-8 jam lewat darat melalui Kabupaten Karo dari Medan, Sumatera Utara.
Secara administratif, Kutacane masuk ke dalam kecamatan Babussalam.

Sejarah Kutacane

Pada zaman Pemerintahan Belanda di Indonesia, desa kecil ini pun tidak ketinggalan untuk ditempati oleh si Bule. Tahun 1908; pertamanya Belanda masuk ke Kutacane, ketika itu Kutacane masih merupakan sebuah desa kecil bernama Pasir Gala dan Pemerintah Belanda sendiri bertempat tinggal di Kutarih.Tahun 1920 dengan pertimbangan tertentu oleh Pemerintah Belanda, pusat pemerintahan dipindahkan ke Pasir Gala, oleh pendatang dan penduduk mulai mendirikan rumah dan warung-warung di sekitar pusat pemerintahan Belanda [yang baru] ini; akhirnya menjadi sebuah kota kecil yang disebut Kutacane. [Pusat Pemerintah Belanda di Kutarih kemudian dinamakan sebagai Kutacane Lama].Berakhirnya Pemerintah Kolonial Belanda, diganti oleh penjajah Jepang; Kutacane tidak berubah dan sampai kekuasaan Pemerintahan Jepang berakhir, Kutacane dipimpin oleh seorang kepala kampung.Pada zaman revolusi fisik, Aceh sebagai daerah modal tidak mampu diduduki oleh tentara Belanda/NICA, Kutacane sebagai kota kecil yang terdekat dengan daerah pertempuran menjadi tempat pelarian yang sangat aman bagi pengungsi-pengungsi dari Sumatera Timur (Sumatera Utara sekarang). Kutacane semakin ramai dan berkembang dari segi kependudukan. Demi kelanjutan hidup mereka, pendatang-pendatang baru mulai membuka hutan lebat menjadi ladang-ladang dan daerah sepanjang Lawe Alas dan Lawe Bulan sebagai daerah persawahan.Tanah yang subur diiringi kerja keras, Kutacane dan daerah di sekitarnya sudah berkembang menjadi daerah surplus beras. Revolusi fisik berakhir, hubungan dagang dengan Sumatera Utara lancar.Faktor komunikasi yang sangat buruk dengan daerah Aceh lainnya, terutama tetangga dekat, Takengon, sebagai ibukota Kabupaten Aceh Tengah (saat itu Aceh Tenggara termasuk Aceh Tengah), maka demi lancarnya roda pemerintahan, di bekas Kewedanaan Tanah Alas dan Gayo Lues tersebut terbentuklah Perwakilan Kabupaten Aceh Tengah di Kutacane. Saat itu Kutacane masih dipimpin oleh seorang kepala kampung yang tunduk pada administrasi Pemerintahan Kecamatan Bambel yang ibukotanya Bambel. Perkembangan Kutacane dengan aktivitas-aktivitas yang ada semakin tidak mampu diurus oleh seorang berpangkat kepala kampung, untuk ini pada tahun 1966 dibentuklah kecamatan Babussalam dengan ibukotanya Kutacane.

Asal nama[1]

kutacane di lihat dari udara
Kuta Cane didirikan sekitar tahun 1904 oleh G.C.E Van Daalen. Ada dua versi yang masuk akal awal mula dari kata Kuta Cane. Versi pertama Kutacane berasal dari dua suku kata yakni kuta dan cane yang mana kuta dalam bahasa Alas artinya adalah kota sedangkan cane dalam bahasa Belanda berarti tebu. Versi ini kurang dipercayai dikarenakan Kutacane dari dulu sampai sekarang tidak dikenal sabagai penghasil tebu, dan tebu di Kutacane tergolong sedikit di antara daerah-daerah lainnya di Aceh Tenggara.
Versi kedua adalah Kutacane diambil dari kata bahasa Inggris yang mana dalam bahasa Inggris cane adalah rotan atau tempat pemukulan. Pada versi kedua di mana sejak dahulu daerah kuta Cane dan sekitarnya adalah penghasil rotan yang berkualitas, dan juga yang membuat versi itu semakin kuat adalah sejak kota ini didirikan dan didorong dengan daerah yang terpencil pemerintahan Hindia Belanda membuat Kutacane sebagai tempat tahanan atau semacam penjara bagi pemberontak dan lawan politik yang tidak menyukai Belanda tetap bercokol di daerah Aceh, dan kebanyakan dari mereka banyak yang di siksa oleh tentara Belanda.[2]

Kutacane Semasa Perang Kemerdekaan

Tradisi Pemamanan dalam adat Alas
Pada tahun 1947 perang kemerdekaan berkecambuk di seluruh wilayah Indonesia, tak terkecuali di kutacane, Kota ini dibombardir oleh dua pesawat pemburu Belanda, kota kecil ini menjadi sasaran perang Belanda di karenakan Kutacane telah menjadi markas pertahanan Let.Kol. Djamin Gintings, Komandan Resimen IV TNI pindahan dari tanah Karo. pemindahan ini dikarenakan sesuai kesepakatan Renville. Tanah Karo dianggap sudah menjadi wilayah Belanda dan Negera Sumatra Timur (NST). Karena itu kedudukan Kutacane menjadi penting. Kini Tanah Alas menjadi garis pertahanan Indonesia terdepan menghadapi Belanda. Kota kecil itu bertambah ramai, banyak tentera dan pengungsi dari Tanah Karo dan Dairi. Mereka sibuk mendirikan rumah-rumah darurat dan barak-barak pengungsi. Di pinggir sungai (Lawe) Alas dan Lawe Bulan yang mengapit Kutacane, penuh berjejer Barak pengungsi. Sampai-sampai di halaman rumah Raja Alas (Polonas), didirikan rumah-rumah bambu yang beratap rumbia.
Let.Kol. Djamin Gintings pernah membuat kejutan kepada Belanda di mana pasukannya yang bergerak dari Kutacane menuju Mardinding dan Lau Baleng yang merupakan daerah perbatasan langsung dari Aceh dengan Sumatera Utara, serangan itu membuat Belanda kucar-kacir mempertahankan Mardinding dan Lau Balang. Hanya dengan keunggulan senjata, bantuan pasukan berlapis baja dari Kabanjahe dan logistik militer yang kuat, serta merelakan korban yang tidak sedikit, Belanda dapat bertahan. Begitu juga dipihak Resimen IV, banyak korban dan peristiwa tragis yang mereka lalui seperti pristiwa Bukit Kadir yang menewaskan perwira resimen Abd.Kadir yang gagah berani.
Dampak penyerbuan Mardinding dan Lau Balang (walaupun tidak berhasil direbut), menyebabkan semua pasukan Belanda harus mengkonsentrasikan diri pada benteng yang lebih permanen dan kuat menghadapi pasukan Djamin Gintings. Apalagi sesudah serangan frontal itu, Djamin Gintings mengobarkan perang grilya. Taktik hit and run (serang dan menghindar) selalu menimbulkan kerusakan yang tidak terduga di pihak Belanda. Demikianlah selama tujuh bulan (Januari s/d Agustus 1949), perang grilya berkecamuk menyebabkan Belanda terkooptasi di Tanah Karo, dan terpaksa melupakan serangan ke Kutacane (Tanah Alas), sampai penyerahan kedaulatan (1950).
Dalam Konperensi Meja Bundar (23 Agustus 1949), Provinsi Aceh secara utuh dapat didaftarkan sebagai ”daerah modal” Republik Indonesia di luar pulau Jawa dalam status RI sebagai salah satu negara bagian dari RIS. Djamin Gintings telah berhasil menyelamatkan daerah modal itu, yang berarti menyelamatkan martabat Republik Indonesia terutama di mata dunia internasional. Djamin Gintings bukan sembarang pahlawan kemerdekaan.[3]

Diberdayakan oleh Blogger.

Blogger templates