Kutacane adalah ibukota Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh, Indonesia. Kutacane merupakan pintu masuk ke Taman Nasional Gunung Leuser dari wilayah Aceh, dapat dicapai lebih kurang 6-8 jam lewat darat melalui Kabupaten Karo dari Medan, Sumatera Utara.
Secara administratif, Kutacane masuk ke dalam kecamatan Babussalam.
Sejarah Kutacane
Pada zaman Pemerintahan Belanda di Indonesia, desa kecil ini pun tidak ketinggalan untuk ditempati oleh si Bule. Tahun 1908; pertamanya Belanda masuk ke Kutacane, ketika itu Kutacane masih merupakan sebuah desa kecil bernama Pasir Gala dan Pemerintah Belanda sendiri bertempat tinggal di Kutarih.Tahun 1920 dengan pertimbangan tertentu oleh Pemerintah Belanda, pusat pemerintahan dipindahkan ke Pasir Gala, oleh pendatang dan penduduk mulai mendirikan rumah dan warung-warung di sekitar pusat pemerintahan Belanda [yang baru] ini; akhirnya menjadi sebuah kota kecil yang disebut Kutacane. [Pusat Pemerintah Belanda di Kutarih kemudian dinamakan sebagai Kutacane Lama].Berakhirnya Pemerintah Kolonial Belanda, diganti oleh penjajah Jepang; Kutacane tidak berubah dan sampai kekuasaan Pemerintahan Jepang berakhir, Kutacane dipimpin oleh seorang kepala kampung.Pada zaman revolusi fisik, Aceh sebagai daerah modal tidak mampu diduduki oleh tentara Belanda/NICA, Kutacane sebagai kota kecil yang terdekat dengan daerah pertempuran menjadi tempat pelarian yang sangat aman bagi pengungsi-pengungsi dari Sumatera Timur (Sumatera Utara sekarang). Kutacane semakin ramai dan berkembang dari segi kependudukan. Demi kelanjutan hidup mereka, pendatang-pendatang baru mulai membuka hutan lebat menjadi ladang-ladang dan daerah sepanjang Lawe Alas dan Lawe Bulan sebagai daerah persawahan.Tanah yang subur diiringi kerja keras, Kutacane dan daerah di sekitarnya sudah berkembang menjadi daerah surplus beras. Revolusi fisik berakhir, hubungan dagang dengan Sumatera Utara lancar.Faktor komunikasi yang sangat buruk dengan daerah Aceh lainnya, terutama tetangga dekat, Takengon, sebagai ibukota Kabupaten Aceh Tengah (saat itu Aceh Tenggara termasuk Aceh Tengah), maka demi lancarnya roda pemerintahan, di bekas Kewedanaan Tanah Alas dan Gayo Lues tersebut terbentuklah Perwakilan Kabupaten Aceh Tengah di Kutacane. Saat itu Kutacane masih dipimpin oleh seorang kepala kampung yang tunduk pada administrasi Pemerintahan Kecamatan Bambel yang ibukotanya Bambel. Perkembangan Kutacane dengan aktivitas-aktivitas yang ada semakin tidak mampu diurus oleh seorang berpangkat kepala kampung, untuk ini pada tahun 1966 dibentuklah kecamatan Babussalam dengan ibukotanya Kutacane.Asal nama[1]
kutacane di lihat dari udara
Versi kedua adalah Kutacane diambil dari kata bahasa Inggris yang mana dalam bahasa Inggris cane adalah rotan atau tempat pemukulan. Pada versi kedua di mana sejak dahulu daerah kuta Cane dan sekitarnya adalah penghasil rotan yang berkualitas, dan juga yang membuat versi itu semakin kuat adalah sejak kota ini didirikan dan didorong dengan daerah yang terpencil pemerintahan Hindia Belanda membuat Kutacane sebagai tempat tahanan atau semacam penjara bagi pemberontak dan lawan politik yang tidak menyukai Belanda tetap bercokol di daerah Aceh, dan kebanyakan dari mereka banyak yang di siksa oleh tentara Belanda.[2]
Kutacane Semasa Perang Kemerdekaan
Tradisi Pemamanan dalam adat Alas
Let.Kol. Djamin Gintings pernah membuat kejutan kepada Belanda di mana pasukannya yang bergerak dari Kutacane menuju Mardinding dan Lau Baleng yang merupakan daerah perbatasan langsung dari Aceh dengan Sumatera Utara, serangan itu membuat Belanda kucar-kacir mempertahankan Mardinding dan Lau Balang. Hanya dengan keunggulan senjata, bantuan pasukan berlapis baja dari Kabanjahe dan logistik militer yang kuat, serta merelakan korban yang tidak sedikit, Belanda dapat bertahan. Begitu juga dipihak Resimen IV, banyak korban dan peristiwa tragis yang mereka lalui seperti pristiwa Bukit Kadir yang menewaskan perwira resimen Abd.Kadir yang gagah berani.
Dampak penyerbuan Mardinding dan Lau Balang (walaupun tidak berhasil direbut), menyebabkan semua pasukan Belanda harus mengkonsentrasikan diri pada benteng yang lebih permanen dan kuat menghadapi pasukan Djamin Gintings. Apalagi sesudah serangan frontal itu, Djamin Gintings mengobarkan perang grilya. Taktik hit and run (serang dan menghindar) selalu menimbulkan kerusakan yang tidak terduga di pihak Belanda. Demikianlah selama tujuh bulan (Januari s/d Agustus 1949), perang grilya berkecamuk menyebabkan Belanda terkooptasi di Tanah Karo, dan terpaksa melupakan serangan ke Kutacane (Tanah Alas), sampai penyerahan kedaulatan (1950).
Dalam Konperensi Meja Bundar (23 Agustus 1949), Provinsi Aceh secara utuh dapat didaftarkan sebagai ”daerah modal” Republik Indonesia di luar pulau Jawa dalam status RI sebagai salah satu negara bagian dari RIS. Djamin Gintings telah berhasil menyelamatkan daerah modal itu, yang berarti menyelamatkan martabat Republik Indonesia terutama di mata dunia internasional. Djamin Gintings bukan sembarang pahlawan kemerdekaan.[3]
0 komentar:
Posting Komentar